(Sebuah surat beredar di media sosial. Isinya menyentuh hati, ungkatan seorang pendatang di Papua atas situasi konflik hari ini. Berikut kami sampaikan isi suratnya.)
SURAT TERBUKA DARI JAYAPURA UNTUK INDONESIA: Untuk Bangsa Indonesia dari Seorang Pendatang
Saudara-saudariku di seluruh Indonesia,
Perkenalkan saya Ahmad Rudi. Saya bukan orang Papua. Sejak belasan tahun lalu tinggal di Jayapura. Tanah ini telah menjadi rumah saya. Saya datang sebagai pendatang, membawa harapan, lalu menemukan kenyataan yang jauh lebih rumit dan menyakitkan dari yang pernah saya bayangkan.
Saya menulis surat ini karena hati saya tak bisa diam. Karena saya telah melihat dari dekat luka yang tak kunjung sembuh. Karena saya sudah terlalu lama menyaksikan bagaimana suara manusia dibungkam, bagaimana rasa keadilan dilumpuhkan, dan bagaimana kita semua—baik pendatang maupun orang asli Papua—sedang hidup dalam sistem yang pincang dan menindas.
Saya tidak mewakili organisasi, partai, atau kepentingan apa pun. Saya hanya warga biasa. Tapi justru sebagai warga biasa, saya merasa kita semua perlu mulai berbicara. Karena jika tidak, kita sedang ikut merayakan kebisuan di atas penderitaan orang lain.
Tanah Indah yang Terluka
Papua adalah tanah yang sangat kaya. Hutan lebatnya, gunung-milik langitnya, sungai-sungainya, dan segala keajaiban alamnya adalah anugerah luar biasa. Tapi di balik kekayaan itu, tersembunyi luka yang dalam.
Saya menyaksikan tanah adat dijual tanpa seizin pemiliknya. Saya menyaksikan masyarakat adat diusir dari tanah leluhurnya, hanya karena ada tambang yang ingin menggali emas. Dan emas itu bukan untuk rakyat Papua. Emas itu pergi ke luar. Kekayaan mereka diambil, tapi luka mereka dibiarkan.
Saya menyaksikan anak-anak Papua yang harus berjalan berkilo-kilo untuk ke sekolah, hanya untuk belajar dari guru yang jarang datang. Saya melihat Puskesmas kosong. Saya melihat para pemuda Papua dicurigai hanya karena berkumpul dan menyanyi lagu tradisional. Saya melihat aparat masuk ke kampung dan membuat warga lari ke hutan.
Saya menyaksikan, dengan mata kepala sendiri, bagaimana setiap bendera Bintang Kejora yang dikibarkan dengan harapan dianggap ancaman, dan setiap suara yang menyerukan keadilan dianggap separatis.
Perang yang Dimaknai Berbeda
Hari ini, saudara-saudara kita di dataran tinggi—di Nduga, Intan Jaya, Puncak, Yahukimo, Maybrat, Pegunungan Bintang—sedang hidup dalam ketakutan. Kontak tembak antara TPNPB (Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat) dan TNI/Polri menjadi berita harian di sini.
Tapi tahukah saudara, ini bukan sekadar perang antara aparat dan kelompok pengacau keamanan, seperti sering kalian baca di media nasional? Di sini, ini disebut sebagai perang kemerdekaan.
Bagi banyak orang Papua, ini adalah upaya terakhir mempertahankan martabat, harga diri, dan hak mereka untuk menentukan nasib sendiri.
Tapi bagi negara, ini adalah perang melawan separatisme, perang demi pembangunan dan kedaulatan nasional.
Di sinilah letak perbedaan paling menyakitkan:
Yang satu berperang untuk tanah leluhurnya.
Yang satu menganggap tanah itu bagian dari proyek nasional.
Siapa yang Sebenarnya Terluka?
Saya pernah duduk bersama seorang ibu di Wamena. Anaknya hilang. Diduga ditembak di hutan karena dianggap membawa pesan untuk TPNPB. Ibu itu tidak tahu ke mana harus melapor. Dia hanya menangis dan berdoa. Tak ada pengacara. Tak ada LSM. Tak ada negara. Hanya doa.
Saya juga bertemu tentara muda dari Jawa. Dia hanya menjalankan tugas, katanya. Tapi saya lihat di matanya: dia tak tahu mengapa dia di sini. Dia takut, dia curiga, dan dia sendiri jadi korban dari sistem yang membuatnya membidik warga sipil.
Lalu, siapa yang menang dari semua ini? Tidak ada. Yang kalah adalah kita semua. Negara yang kehilangan kepercayaan rakyatnya. Dan rakyat yang kehilangan tanah, suara, dan masa depan mereka.
Papua Bukan Sekadar Wilayah—Tapi Jiwa
Saya ingin berkata dengan jelas:
Papua bukan wilayah yang bisa dijaga dengan senjata.
Papua adalah jiwa yang harus dipahami dan dihormati.
Jika kita terus menjawab tangisan dengan peluru, terus mengirim pasukan saat mereka meminta dialog, dan terus menuduh separatis pada setiap orang yang bersuara—maka kita bukan sedang menjaga negara, tapi sedang membunuh bagian dari bangsa kita sendiri.
Hak Menentukan Nasib Sendiri
Ini bagian paling sulit saya tulis. Tapi saya harus jujur. Saya percaya, Papua juga berhak menentukan nasibnya sendiri.
Hak itu tidak berarti Papua pasti akan berpisah. Tapi hak itu berarti mereka berhak memilih. Berhak bertanya, “Apakah kami ingin tetap bersama Indonesia, atau kami ingin berdiri sendiri sebagai bangsa yang bebas?”
Jika kita percaya pada demokrasi, seharusnya kita tak takut pada pilihan itu.
Tapi sayangnya, kita lebih sering mengedepankan semboyan: “NKRI harga mati.”
Dan sebagai balasannya, mereka pun berkata: “Papua Merdeka adalah solusi akhir.”
Dua semboyan ini kini saling mematuk. Tidak ada ruang bagi dialog. Yang ada hanya ejekan, senjata, propaganda, dan korban.
Bangsa Besar Tidak Takut Mendengar
Saya tidak bilang bahwa kemerdekaan Papua pasti akan membawa damai. Tapi saya yakin bahwa memaksakan persatuan dengan senjata tidak akan pernah membawa keadilan.
Saya tidak bilang bahwa semua aparat bersalah. Tapi saya melihat bahwa sistem kita membiarkan mereka jadi pelaku dan korban sekaligus.
Saya tidak bilang bahwa semua perjuangan Papua suci. Tapi saya tahu bahwa jika suara mereka terus dianggap ancaman, maka kekerasan akan selalu jadi satu-satunya bahasa yang tersisa.
Maka saya mohon:
Dengarkan suara dari Papua. Jangan hanya dari televisi. Jangan hanya dari Jakarta. Tapi dengarkan dari rakyatnya sendiri.
Sebuah Permintaan untuk Bangsa Ini
Saudara-saudaraku sebangsa,
Saya tahu surat ini mungkin membuat tidak nyaman.
Tapi bukankah sudah saatnya kita tidak lagi nyaman di atas ketidakadilan?
Saya hanya satu suara. Tapi saya yakin ada ribuan, bahkan jutaan suara yang sama.
Dan suara itu tidak akan hilang—karena suara kebenaran tidak bisa dibunuh.
Mari kita bangun bangsa ini bukan di atas batu bara dan emas, tapi di atas rasa hormat, kejujuran, dan keberanian untuk berkata: “Kami salah. Mari kita perbaiki bersama.”
Kalau tidak, kita akan terus kehilangan bagian terbaik dari Indonesia—yaitu hati nurani kita sendiri.
Dengan hati terbuka dan keberanian yg dipaksakan, saya harus menulis surat ini.
Dari Jayapura, untuk seluruh bangsa Indonesia.
Ahmad Rudi
Warga pendatang di Jayapura, Papua
Jumat, 13 Juni 2025