Dari Tambang Hingga Hilirisasi: Ke Arah Mana Indonesia Melangkah?

Berita, Nasional125 Dilihat

Nabire, DogiyaiPos — Di negeri kepulauan yang dibelah oleh pegunungan dan hutan tropis, Indonesia tumbuh di atas kekayaan alam yang tak ternilai. Dari logam-logam berat di perut bumi hingga batu bara yang menghitamkan ladang-ladang terbuka, sumber daya mineral telah lama menjadi tulang punggung bagi ekonomi negara. Ia bukan sekadar komoditas, melainkan sumber pemasukan, alat diplomasi, bahkan dasar arah pembangunan.

Pemerintah, sejak masa awal kemerdekaan hingga kini, terus bergantung pada industri ekstraktif, terutama tambang. Batubara, tembaga, emas, dan yang paling mutakhir — nikel — menjadi poros bagi strategi ekonomi nasional. Pendapatan negara dari sektor ini tak kecil, bahkan dalam beberapa tahun terakhir nilainya bisa menembus ratusan triliun rupiah. Angka itu menjadi alasan utama mengapa tambang masih dianggap sebagai jalan realistis menuju kemajuan, khususnya di tengah perlambatan ekonomi global dan kebutuhan fiskal dalam negeri.

Namun, wajah pertambangan tidak hanya bersinar dalam laporan ekonomi. Ia juga membekas di bentang alam yang hilang, hutan yang ditebang, sungai yang berubah warna, dan suara-suara dari masyarakat adat yang kehilangan ruang hidupnya. Di tempat-tempat seperti Papua, Sulawesi Tengah, Halmahera, dan Kalimantan Timur, pertambangan sering datang beriringan dengan konflik. Bukan semata konflik senjata, tapi juga konflik nilai: antara kepentingan negara dan hak masyarakat lokal; antara janji kemajuan dan kenyataan kerusakan.

Dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah mendorong hilirisasi sebagai bentuk transformasi dari pola lama. Tujuannya bukan lagi mengekspor mentah, melainkan membangun industri pemurnian di dalam negeri. Nikel, misalnya, diolah menjadi bahan baku baterai kendaraan listrik, sebuah lompatan menuju ekonomi masa depan yang lebih hijau secara simbolik. Namun di balik ambisi itu, ada fakta-fakta yang belum bisa ditepis: kawasan pengolahan seringkali dibangun di wilayah-wilayah rawan konflik, dengan dampak sosial-lingkungan yang belum tertanggulangi secara menyeluruh.

Pergeseran ke arah energi terbarukan dan ekonomi hijau memang sedang digagas, tetapi prosesnya lambat. Sementara itu, tambang tetap menjadi tumpuan. Pemerintah masih memerlukan hasilnya untuk membiayai pembangunan. Dalam dilema ini, Indonesia seperti berdiri di persimpangan: antara memanfaatkan kekayaan bumi untuk saat ini atau melindungi warisan ekologis untuk masa depan.

Tidak ada jawaban tunggal. Yang ada hanyalah tantangan untuk menyeimbangkan. Dan dalam ketidakseimbangan itu, rakyat di wilayah-wilayah kaya tambang — seringkali yang paling sedikit menikmati hasilnya — tetap bertanya: ke arah mana sebenarnya bangsa ini melangkah? (BT)

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *