Jakarta, Dogiyaipos.com – Presiden Prabowo Subianto dalam sidang pidato kenegaraan dan beberapa pertemuan menyampaikan ungkapan serakahnomics. Presiden menyoroti keberadaan dan aktivitas bisnis korporasi yang dilandasi keserakahan, melakukan permainan manipulasi, tidak adil dan mendapatkan keuntungan dengan mengorbankan rakyat. Presiden menyebut mereka sebagai vampir ekonomi, parasit yang menghisap darah rakyat, untuk memperoleh sumber daya dalam jumlah yang berlebihan dan mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya. Pidato retorik presiden nampaknya keras dan hendak mengingatkan prinsip perekonomian sebagaimana Konstitusi UUD 1945 Pasal 33.
Pada selasa (16/9/25), Menteri Koordinator Bidang Pangan Zulkifli Hasan mengatakan pemerintah akan mempercepat pembangunan kawasan pangan, energi dan air nasional di Wanam, Kabupaten Merauke, Provinsi Papua Selatan. Pemerintah menargetkan total pembebasan lahan untuk swasembada pangan, energi dan air di Merauke mencapai 1 juta hektar. Perubahan tata ruang dan Hak Guna Usaha, dan lain yang diperlukan akan diselesaikan.
“Dan yang sudah ada tata ruangnya, laporan menteri kehutanan ada 481.000 hektar”, kata Zulkifli Hasan.
Penjelasan Menko Pangan Zulkifli Hasan terkait kemudahan dan percepatan proyek dengan alih fungsi kawasan hutan dalam skala luas merupakan wujud kesewenang-wenangan penguasa (arbitrary power) dalam kebijakan dan tindakan negara untuk mengesahkan dan memberikan dukungan aktif terhadap korporasi dan operator proyek yang sedang mengembangkan Proyek Strategis Nasional (PSN) atas nama swasembada pangan dan energi di wilayah Kabupaten Merauke, meskipun bertentangan dengan konstitusi UUD 1945, melanggar Hak Asasi Manusia dan prinsip keberlanjutan lingkungan hidup.
Faktanya, PSN Merauke dilaksanakan tanpa adanya konsultasi dan keterlibatan bermakna masyarakat adat terdampak untuk memberikan persetujuan bebas atas pengembangan PSN Merauke di wilayah adat, yang sejalan dengan prinsip FPIC (Free Prior Informed Consent). PSN Merauke diterbitkan tanpa adanya keterbukaan informasi dan keterlibatan masyarakat adat dalam perolehan perizinan-perizinan lingkungan hidup, pengalihan dan pemanfaatan hak atas tanah adat, perizinan usaha perkebunan dan hak guna usaha, dan sebagainya, sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Pelaksanaan PSN Merauke selama berlangsung lebih dari satu tahun telah menimbulkan kontradiksi dan luka serius yang mencemaskan dan merugikan masyarakat adat korban, terjadi kekerasan dan pemaksaan, penghancuran dan penghilangan sumber pangan, mata pencaharian tradisional (traditional occupation), kerusakan lingkungan dan kehilangan hutan dengan ekosistem penting hingga belasan ribu hektar.
Operator perusahaan pengembang Kawasan Sentra Produksi Pangan (KSPP) Merauke maupun operator perusahaan perkebunan tebu dan bioethanol, dengan dikawal aparat militer bersenjata telah menggusur dan menghancurkan hutan adat, rawa, savana, tempat-tempat keramat, tanpa memperdulikan hak dan suara keluhan rakyat, maupun keberlanjutan biodiversity yang bernilai konservasi tinggi. Kami mendokumentasikan semenjak tahun 2024 hingga Agustus 2025, PSN Merauke telah merusak dan menghilangkan kawasan hutan seluas lebih dari 19.000 hektar. Angka deforestasi ini berkontribusi mempertebal emisi Gas Rumah Kaca, sekaligus wujud pengabaian komitmen negara untuk mengatasi perubahan iklim.
Masyarakat adat Malind Anim dan Yei secara tidak bebas membuat keputusan dan terpaksa menerima kompensasi “uang tali asih” untuk menyerahkan hak atas tanah adat kepada perusahaan perkebunan tebu PT Global Papua Abadi (GPA) dan PT Murni Nusantara Mandiri (MNM), nilainya sekitar Rp. 300.000 per hektar (atau Rp. 3.000 per meter), nilai kompensasi yang tidak adil dan tidak sebanding dengan manfaat sosial ekonomi dan jasa lingkungan atas tanah dan hutan.
Pencaplokan tanah dan hutan adat melalui pemberian izin, pemberian kompensasi dan janji kesejahteraan pembangunan seolah-olah jalan normal dan legal. Cara-cara dan pelabelan legalitas ini membuat penguasa dan pengusaha serakah dapat menguasai dan memiliki alat produksi dalam skala luas. PT GPA dan PT MNM, serta 8 (delapan) perusahaan perkebunan tebu dan bioethanol dalam PSN Merauke memiliki konsesi seluas lebih dari 560.000 hektar, yang mana penerima manfaat (beneficial ownership) perusahaan oleh Fangiono Famili dan Martua Sitorus. Kedua penguasa ekonomi ini juga memiliki izin usaha perkebunan kelapa sawit di Merauke, Sorong, Sorong Selatan dan Teluk Bintuni, hingga lebih dari 300.000 hektar. Konsentrasi penguasaan tanah pada segelintir orang adalah wujud “serakahnomics”, pembatasan penguasaan tanah maksimum dilindas.
Kami Yayasan Pusaka Bentala Rakyat mengecam kebijakan dan praktik PSN (Proyek Strategis Nasional) atas nama pengembangan pangan, energi dan air nasional di Kabupaten Merauke, dengan memfasilitasi pemberian kemudahan dan percepatan pemberian izin perolehan tanah adat dan alih fungsi kawasan hutan skala luas, hal ini menunjukkan praktik serakahnomics. Kesewenang-wenangan Menteri Zulhas dalam mendorong dan menerbitkan perubahan tata ruang, HGU dan perizinan lainnya, adalah wujud serakahnomics dan tidak adil, yang menguntungkan korporasi dengan mengorbankan rakyat.
Kami meminta pemerintah menghentikan pemberian izin pelepasan kawasan hutan skala luas dan praktik ekstraktif sumber daya alam yang merusak lingkungan hidup, yang dilakukan tanpa kajian dan mempertimbangkan keseimbangan ekologis, keberlanjutan sumber daya alam dan kelangsungan hak lintas generasi, yang mengabaikan hak masyarakat adat, hanya untuk mendapatkan keuntungan ekonomi segelintir korporasi.
Kami meminta Presiden Prabowo segera mengevaluasi dan meninjau kembali PSN Merauke yang dikendalikan dan menguntungkan penguasa dan pengusaha serakah, dengan mengorbankan dan menyingkirkan masyarakat adat, dan lingkungan hidup. Pemerintah seharusnya mengambil langkah-langkah efektif untuk pemenuhan dan penikmatan Hak Asasi Manusia, bukan hanya retorika melainkan bertindak untuk menghormati dan melindungi hak masyarakat adat dan lingkungan hidup.
Kami juga meminta pejabat pemerintah daerah Kabupaten Merauke dan Provinsi Papua Selatan, untuk aktif menggunakan kewenangan khusus sebagaimana UU Otsus Papua, yang diakui untuk mengatur dan bertindak mengurus kepentingan masyarakat adat, menghormati dan melindungi aspirasi dan hak masyarakat adat terdampak PSN Merauke, mewujudkan perekonomian berbasis kerakyatan yang adil dan berkelanjutan.
Pada era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden M Jusuf Kalla (2009-2014) Zulkifli Hasan pernah menjabat Menteri Kehutanan dan menerbitkan izin pelepasan kawasan hutan kepada korporasi untuk menjadi perkebunan seluas sekitar 1,6 juta hektar. Sebagian besar izin tersebut berada di Tanah Papua seluas 680.188 hektar, yang diberikan kepada segelintir perusahaan. Masyarakat adat setempat tidak mengetahui dan tidak pernah dikonsultasikan pemberian izin dimaksud hingga menimbulkan konflik, misalnya antara Suku Awyu dengan tujuh perusahaan perkebunan kelapa sawit yang tergabung dalam Menara Group pengembang proyek Tanah Merah di Kabupaten Boven Digoel, yang menguasai lahan hutan alam seluas 270.000 hektar. ( Siaran Pers Yayasan Pusaka Bentala Rakyat, 22 September 2025)