Raja Ampat: Antara Surga Laut dan Ambisi Tambang Nikel

Berita, Daerah115 Dilihat

Nabire, DogiyaiPos — Raja Ampat, kepulauan yang dikenal sebagai surga bawah laut dunia, kini menghadapi dilema besar: antara mempertahankan keindahan alamnya atau membuka pintu bagi eksploitasi tambang nikel yang menggiurkan.

Awal Masuknya Industri Tambang (2004–2008)

Pada awal 2000-an, dua perusahaan—PT Anugerah Surya Indotama dan PT Kawei Sejahtera Mining—mendapatkan izin eksplorasi tambang nikel di Pulau Kawe. Namun, aktivitas mereka terhenti setelah penangkapan kapal MV Jin Feng pada 2008 yang diduga membawa hasil tambang tanpa dokumen resmi. Insiden ini memicu ketegangan antara perusahaan dan masyarakat adat setempat.

PT Gag Nikel: Antara Komitmen dan Kontroversi (2018–2025)

 Pada 2018, PT Gag Nikel, anak perusahaan BUMN PT Antam, mulai beroperasi di Pulau Gag dengan luas konsesi mencapai 13.136 hektare. Perusahaan ini mendapatkan izin berdasarkan Keppres No. 41 Tahun 2004 yang memberikan keistimewaan bagi 13 perusahaan untuk melakukan aktivitas pertambangan terbuka di kawasan Hutan Lindung.

Namun, kehadiran PT Gag Nikel tidak lepas dari kontroversi. Masyarakat adat Suku Kawei, pemilik hak ulayat atas Pulau Gag, mengklaim bahwa mereka tidak dilibatkan dalam proses perizinan dan pembagian hasil. Pada 2023, mereka menuntut Bupati Raja Ampat, Abdul Faris Umlati, untuk membayar bagi hasil senilai Rp 550 miliar atas pengelolaan tambang nikel di pulau tersebut sejak 2018. Masyarakat juga mengeluhkan tidak adanya ganti rugi atas lahan sagu yang digusur untuk aktivitas tambang.

Selain itu, Dewan Adat Papua (DAP) Domberai juga menyoroti rendahnya keterlibatan masyarakat adat dalam operasional PT Gag Nikel. Mayor, seorang tokoh adat, menyatakan bahwa representasi Orang Asli Papua di perusahaan tersebut hanya sekitar 1 persen, dan berupaya untuk melobi manajemen agar lebih banyak melibatkan masyarakat lokal.

PT Mulia Raymond Perkasa: Ekspansi dan Penolakan (2025)

Pada 2025, PT Mulia Raymond Perkasa mendapatkan izin untuk beroperasi di Pulau Batan Pelei dan Manyaifun. Namun, masyarakat adat Suku Kawei menolak keras kehadiran perusahaan ini, mengingat potensi kerusakan lingkungan dan dampaknya terhadap mata pencaharian mereka. Mereka menuntut agar izin perusahaan tersebut dicabut dan tidak diberikan izin operasional.

Tindakan Pemerintah dan Evaluasi Izin (Juni 2025)

Pada Juni 2025, Presiden Prabowo Subianto membatalkan izin empat dari lima perusahaan tambang nikel di Raja Ampat, termasuk PT Anugerah Surya Pratama dan PT Mulia Raymond Perkasa, setelah ditemukan pelanggaran lingkungan. Namun, izin PT Gag Nikel tetap berlaku karena beroperasi di luar kawasan geopark.

Dinamika Sosial dan Ekonomi

Kehadiran industri tambang di Raja Ampat membawa dampak positif dan negatif. Di satu sisi, ada peningkatan lapangan kerja dan infrastruktur. Namun, di sisi lain, ada ketegangan sosial, kerusakan lingkungan, dan ketimpangan ekonomi yang perlu diatasi.

Respon Masyarakat Papua

Masyarakat adat Suku Kawei, pemilik hak ulayat atas Pulau Gag, telah lama menuntut pengakuan atas tanah leluhur mereka yang kini dikelola oleh PT Gag Nikel. Mereka menuntut pembayaran bagi hasil senilai Rp 550 miliar atas pengelolaan tambang nikel di wilayah mereka sejak 2018. Namun, hingga kini, tuntutan tersebut belum terealisasi.

Korinus Ayelo, Ketua Adat Kampung Selpelei, menegaskan bahwa wilayah Gag adalah milik masyarakat adat Suku Kawei dan tidak boleh ada orang dari luar yang mengaku-ngaku itu hak ulayat mereka. Ia mengancam akan melakukan pemalangan adat terhadap operasional tambang PT Gag Nikel sampai hak-hak adat diakui dan dipenuhi.

Selain itu, Dewan Adat Papua (DAP) Wilayah III Domberai juga menyoroti dampak lingkungan dari aktivitas tambang nikel. Ronald Kondjol, Ketua DAP, menegaskan bahwa deforestasi besar-besaran akibat aktivitas PT Gag Nikel telah merusak hutan adat di Pulau Gag. Ia meminta pemerintah untuk turun tangan sebelum semuanya terlambat.

Tokoh agama di Papua juga turut bersuara. Uskup Jayapura, Monsinyur Yanuarius Theofilus Matopai You, mengingatkan pentingnya menjaga kedamaian dan keadilan sosial bagi masyarakat Papua. Ia menekankan bahwa eksploitasi sumber daya alam harus memperhatikan kesejahteraan masyarakat dan kelestarian lingkungan.

Uskup Keuskupan Timika, Monsinyur Bernardus Bofitwos Baru, OSA bahkan menegaskan bahwa kerakuran oligarki di pusat kekuasaan di Jakarta telah mengorbankan masyarakat adat dan keindahan Raja Ampat, demi keserakahan mereka akan nikel dan mineral tambang lainnya. (BT- Dari berbagai sumber)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *