Tanah Merah, DogiyaiPos — Sebanyak 10 marga dari Suku Wambon Tekamerop, pemilik hak ulayat atas tanah seluas 14.234 hektar di wilayah Kampung Miri dan Kampung Persatuan, Distrik Mandobo, Kabupaten Boven Digoel – Papua Selatan, secara tegas menyatakan penolakan terhadap rencana operasional perusahaan kelapa sawit PT Indoagro Daya Adimulia (IDA).
Aksi protes dilakukan oleh perwakilan 10 marga pada Kamis pagi (19/6) di Kantor Bupati Boven Digoel dan Kantor Dinas Lingkungan Hidup. Dalam aksinya, mereka menyerahkan pernyataan resmi penolakan disertai tanda tangan dari masing-masing marga. Penolakan ini terkait dengan rencana penguasaan lahan adat oleh perusahaan tersebut tanpa persetujuan sah dari pemilik tanah adat.
Isi Pernyataan Resmi Penolakan
Dalam dokumen pernyataan sikap tertanggal 19 Juni 2025 yang dibacakan dan ditandatangani oleh para perwakilan marga, disampaikan bahwa tanah adat seluas 14.234 hektar yang diklaim oleh PT IDA sebagai wilayah konsesi bukanlah tanah milik negara, melainkan tanah milik sah secara adat dari 10 marga Suku Wambon, yaitu:
- Marga Ameto
- Marga Omba Toniop
- Marga Omba Kare
- Marga Tutainan
- Marga Genggombutop
- Marga Ayarop Itumbut
- Marga Nduga Walip
- Marga Omba Maguop
- Marga Guam Triop
- Marga Omba Taget
Mereka menolak dengan tegas keberadaan perusahaan sawit tersebut karena dinilai mengancam eksistensi tanah adat dan kehidupan masyarakat adat. “Kami tetap jaga tanah dan hutan untuk selamanya,” tegas mereka dalam pernyataan.
Tujuh Poin Pernyataan Sikap
Dalam pernyataan tertulis, mereka menyampaikan tujuh butir tuntutan, antara lain:
- Meminta Pemerintah Kabupaten Boven Digoel segera mencabut izin PT Indoagro Daya Adimulia atas tanah seluas 14.234 hektar.
- Menegaskan bahwa tanah tersebut bukan tanah milik negara, melainkan milik 10 marga dan merupakan tanah adat Suku Wambon, bukan tanah kosong.
- Menyatakan secara tegas menolak kehadiran PT IDA dan penetapan wilayah tersebut sebagai bagian dari Proyek Strategis Nasional (PSN).
- Mengkritisi proses pengambilan keputusan yang tidak melibatkan masyarakat adat, tanpa adanya persetujuan atas dasar informasi di awal tanpa paksaan (FPIC).
- Menyampaikan bahwa proyek kelapa sawit berpotensi menimbulkan bencana ekologis seperti pencemaran sungai, punahnya identitas budaya dan hilangnya tempat-tempat penting milik marga.
- Menggarisbawahi potensi konflik sosial seperti intimidasi, penyebaran data pribadi, kriminalisasi, dan kekerasan terhadap warga jika proyek dipaksakan.
- Mendesak Pemerintah Daerah untuk segera menerapkan Perda No.2 Tahun 2023 tentang perlindungan dan pengakuan hak masyarakat hukum adat.
Seruan Tegas untuk Perlindungan Hak Adat
Melalui dokumen ini, masyarakat adat menyatakan sikap mereka tanpa ada tekanan dari pihak manapun. Pernyataan tersebut ditutup dengan seruan: “Kami tetap jaga tanah dan hutan untuk selamanya.”
Pernyataan sikap ini bukan hanya menjadi simbol perlawanan terhadap ekspansi industri ekstraktif, tetapi juga menjadi bentuk keberanian masyarakat adat dalam mempertahankan ruang hidup, identitas, dan hak atas tanah yang diwariskan secara turun-temurun. (BT)